Otonan Tradisi Ulang Tahun di Bali

bayiIni adalah sebuah artikel yg saya ambil dari Warta Hindu Dharma no:488 oleh Iwyn Ritiaksa,M.Ag.
Intinya sy mencoba membagi informasi tentang Budaya dan Tradisi di Bali.kpd mereka yg belum tahu dan ingin tahu seperti saya, sebagai bekal dalam perjalanan Hidup...

Otonan atau
Ngotonin, yang merupakan
peringatan hari kelahiran
berdasarkan satu tahun wuku,
yakni; 6 (enam) bulan kali 35 hari =
210 hari. Jatuhnya Otonan akan
bertepatan sama persis dengan;
Sapta Wara, Panca Wara, dan
Wuku yang sama. Misalnya orang
yang lahir pada hari Rabu, Keliwon
Sinta, selalu otonannya akan
diperingati pada hari yang sama
persis seperti itu yang datangnya
setiap enam bulan sekali (210 hari).
Bali memang unik dan menarik
bagi semua orang,
membicarakan tentang "Bali".
Salah satu keunikan yang sudah
menjadi tradisi umat Hindu Bali
dimanapun berada tidak pernah
melupakan prihal; Otonan atau
Ngotonin, yang merupakan
peringatan hari kelahiran
berdasarkan satu tahun wuku,
yakni; 6 (enam) bulan kali 35 hari =
210 hari. Jatuhnya Otonan akan
bertepatan sama persis dengan;
Sapta Wara, Panca Wara, dan
Wuku yang sama. Misalnya orang
yang lahir pada hari Rabu, Keliwon
Sinta, selalu otonannya akan
diperingati pada hari yang sama
persis seperti itu yang datangnya
setiap enam bulan sekali (210 hari).
Berbeda dengan peringatan hari
Ulang Tahun yang hanya
menggunakan perhitungan tanggal
dan bulan saja, dengan
mengabaikan hari maupun wuku
pada tanggal tersebut. Misalnya
seseorang yang lahir tanggal 10
Januari, maka hari ulang tahunnya
akan diperingati tiap-tiap tanggal
10 Januari pada tahun berikutnya
(12 bulan kalender).
Otonan diperingati sebagai hari
kelahiran dengan melaksanakan
upakara yadnya yang kecil
biasanya dipimpin oleh orang yang
dituakan dan bila upakaranya lebih
besar dipuput aleh pemangku
(Pinandita). Sarana pokok sebagai
upakara dalam otonan ini ada1ah;
biyukawonan, tebasan lima,
tumpeng lima, gebogan dan
sesayut.
Menurut tradisi umat Hindu di Bali,
dalam mengantarkan doa-doa
otonan sering mempergunakan
doa yang diucapkan yang disebut
sehe (see) yakni doa dalam bahasa
Bali yang diucapkan oleh
penganteb upacara otonan yang
memiliki pengaruh psikologis
terhadap yang melaksanakan
otonan, karena bersamaan dengan
doa juga dilakukan pemberian
simbol-simbol sebagai telah
menerima anugerah dari kekuatan
doa tersebut.
Sebagai contoh :
Melingkarkan gelang benang
dipergelangan tangan si empunya
Otonan, dengan pengantar doa :
"Ne cening magelang benang,
apang ma uwat kawat ma balung
besi" (Ini kamu memakai gelang
benang, supaya ber otot kawat
dan bertulang besi).
Ada dua makna yang dapat dipetik
dari simbolis memakai gelang
benang tersebut adalah pertama
dilihat dari sifat bendanya dan
kedua dari makna ucapannya. Dari
sifat bendanya benang dapat
dilihat sebagai berikut :
1. Benang memiliki konotasi
beneng dalam bahasa Bali berarti
lurus, karena benang sering
dipergunakan sebagai sepat
membuat lurus sesuatu yang
diukur. Agar hati selalu di jalan
yang lurus/benar.
2. Benang memiliki sifat lentur dan
tidak mudah putus sebagai simbol
kelenturan hati yang otonan dan
tidak mudah patah semangat.
Sedangkan dari ucapannya doa
tersebut memiliki makna
pengharapan agar menjadi kuat
seperti memiliki kekuatannya baja
atau besi. Disamping kuat dalam
arti fisik seperti kuat tulang atau
ototnya tetapi juga kuat tekadnya,
kuat keyakinannya terhadap
Tuhan dan kebenaran, kuat dalam
menghadapi segala tantangan
hidup sebab hidup ini bagaikan
usaha menyeberangi samudra
yang luas. Bermacam rintangan
ada di dalamnya, tak terkecuali
cobaan hebat yang sering dapat
membuat orang putus asa karena
kurang kuat hatinya.
Dalam rangkaian upacara otonan
berikutnya sebelum natab,
didahului dengan memegang
dulang tempat sesayut dan
memutar sesayut tersebut tiga kali
ke arah pra sawia (searah jarum
jam) dengan doa dalam bahasa
Bali sebagai berikut: "Ne cening
ngilehang sampan, ngilehang
perahu, batu mokocok, tungked
bungbungan, teked dipasisi
napetang perahu "bencah" (Ini
kamu memutar sampan, memutar
perahu, batu makocok, tongkat
bungbung, sampai di pantai
menemui kapal terdampar).
Dari doa tersebut dapat dilihat
makna:
1. "Ngilehang sampan ngilehang
perahu" bahwa hidup ini bagaikan
diatas perahu yang setiap hari
harus kesana-kemari mencari
sesuatu untuk memenuhi
kebutuhan hidup ini. Badan kasar
ini adalah bagaikan perahu yang
selalu diarahkan sesuai dengan
keinginan sang diri yang
menghidupi kita.
2. "Batu makocok" adalah sebuah
alat judi. Kita teringat dengan kisah
Pandawa dan Korawa yang
bermain dadu, yang dimenangkan
oleh Korawa akibat kelicikan
Sakuni. Jadi hidup ini bagaikan
sebuah perjudian dan dengan
tekad dan keyakinan yang kuat
harus dimenangkan.
3. "Tungked bungbungan" (tongkat
berlobang) adalah bambu yang
dipakai kantihan yakni sebagai
penyangga keseimbangan
samping perahu agar tidak mudah
tenggelam karena bambu bila
masih utuh memang selalu
terapung. "Perahu hidup ini" jangan
mudah tenggelam oleh keadaan,
kita harus selalu dapat
mengatasinya sehingga dapat
berumur panjang sampai
mempergunakan tongkat (usia
tua).
4. "Teked dipasisi napetang perahu
bencah" (sampai di pantai
menemui perahu / kapal
terdampar). Terinspirasi dari sistem
hukum tawan karang yang ada
pada jaman dahulu di Bali, yakni
setiap ada kapal atau perahu yang
terdampar di pantai di Bali, rakyat
Bali dapat dengan bebas menahan
dan merampas barang yang
ada .pada kapal yang terdampar
tersebut. Maksudnya supaya
mendapatkan rejeki nomplok, atau
dengan usaha yang mudah bisa
mendapatkan rejeki yang banyak.
Demikian luhurnya makna doa
yang diucapkan dalam sebuah
upacara otonan bagi masyarakat
Hindu Bali yang dikemas dengan
simbolis yang dapat dimaknai
secara fisik maupun psikologis,
dengan harapan agar putra-putri
yang menjadi tumpuan harapan
keluarga mendapatkan kekuatan
dan kemudahan dalam
mengarungi kehidupan.

0 komentar: