Kasta,Warna atau Wangsa

raja baliWANGSA WARNA KASTA
Om Swastiastu
Sehabis Pesamuhan Agung di
Mataram Lombok bulan Oktober
2002, yang
menghasilkan tiga bhisama antara lain
masalah "Catur Warna".
tulisan ini menitik beratkan bahwa
Bhisama ini dimaksudkan untuk
meluruskan soal kasta dan sama
sekali tidak menghilangkan
Wangsa.
Setelah membaca postingan Pak Arya
Wiraraja masalah kesulitan
mendaftarkan nama anaknya di
Capil Badung, saya baru sadar
masalah ini ternyata cukup
komplek.
Ada tiga hal yang jalin menjalin
dalam soal ini, yaitu kasta, warna
dan wangsa, yang oleh
kebanyakan orang dianggap satu
dan sama. Padahal masing-masing
sebenarnya berbeda. Oleh karena
itu kita perlu mendapat gambaran
secara ringkas mengenai hal ini.
Untuk yang pertama dan kedua,
kasta dan warna, sudah banyak
didiskusikan. Sedangkan yang
ketiga, wangsa, tampaknya belum
atau sedikit sekali dibahas.
Wangsa di Bali secara umum
adalah pengelompokan orang
berdasarkan keturunan kawitan).
Hampir sama dengan trah di Jawa
(orang Jawa jarang memiliki nama
trah, kecuali Kolopaking dan
Arumbinang), marga di Batak
(Panjaitan, Pangabean, Siregar dll)
atau Manado (Tambayong,
Mawengkang, Kawilarang, dll).
Bedanya, kalau marga di Batak
dan Manado tidak mengandung
unsur hierarkis, di Bali wangsa itu,
karena latar belakang sejarah dan
adat mengandung unsur pelapisan
sosial yang memiliki hak-hak
khusus berdasarkan keturunan,
misalnya soal jabatan tertentu
(sulinggih), soal bahasa (sor
singgih), soal kewajiban adat
(ngayah waktu suka duka), Karena
memiliki hak-hak khusus
berdasarkan keturunan, ia sama
dengan kasta.
Bhisama Catur Warna, tidak
menghapus wangsa! Keberadaan
wangsa tetap diakui. Siapa yang
dapat mengingkari garis keturunan
seseorang? Misalnya,- maaf Pak
dijadikan contoh - Pak OKN tetap
syah memakai gelar Ida Bagus,
dan tetap sah menamai putranya
Ida Bagus atau Ida Ayu. Tetapi Pak
OKN tidak memiliki hak-hak khusus
sehubungan namanya itu. Pak OKN
memiliki hak dan kewajiban yang
sama dengan umat yang lain,
misalnya soal ngayah di pura, soal
suka duka. Nanti kalau sudah jadi
Pedanda, baru Pak OKN berwarna
Brahmana. Nah, pada waktu jadi
Pedanda ini baru Pak OKN
mendapat hak-hak khusus terkait
dengan jabatan sebagai Pedanda.
Sekarang kembali ke soal Perda
yang mengatur nama keluarga itu.
Di kalangan orang Batak,
pemakaian nama marga ada
aturannya. Ada pemasok (suplier)
ATK di kator saya, orang keturunan
Cina yang memakai nama marga
Batak - katakanlah "Lubis".
Kebetulan manajer pengadaan
kantor saya bermarga Lubis. Lalu
manajer ini tanya pada suplier itu
"dapat nama Lubis dari mana?"
Pemasok ini menjelaskan dia
mendapat nama Lubis karena
diberikan oleh marga Lubis di
Medan melalui suatu upacara adat.
Lalu ada teman saya yang orang
Batak asli. Nama orang tuanya
Ritonga, tapi dia pakai nama
Siregar. Oleh Siregar yang lain ia
ditanya, dapat Siregar dari mana?
Oleh Siregar yang Ritonga
dijelaskan bahwa ayah dari
kakeknya dari pihak bapak
bermarga Siregar. Sekalipin kakek
dan ayahnya bermarga Ritonga,
tetapi karena ayah kakeknya
(kumpinya) bermarga Siregar,
maka ia berhak memakai nama
Siregar ataupun Ritonga.
Seorang teman saya orang Bali,
periwira TNI, yang lama berdinas di
Medan, dan karena berjasa
membina umat Hindu Karo, diberi
gelar marga Sinulingga, melalui
satu upacara adat dengan
memotong kerbau.
Pada suku bangsa Batak orang
tidak sembarangan memakai
nama marga orang lain. Harus
mendapat ijin dari pemilik marga
melalui satu upacara adat. Aturan
ini tidak dipermasalahkan, karena
marga di sana tidak mengandung
kesan tinggi rendah.
Saya tidak tahu bagaimana
dengan di Manado. Cukup banyak
kawan-kawan warga keturunan
Cina yang memakai nama marga
Manado. Apakah melalui upacara
tertentu atau tidak, saya belum
punya informasi.
Mengenai wangsa di Bali,
masalahnya agak berbeda latar
belakangnya. Kalau melihat
sejarah baik di Bali maupun di
India, wangsa di bawah Brahmana
sebetulnya cair, artinya bisa
berobah, naik atau turun dalam
pengertian tradisionalnya. Di India
banyak dinasti yang semula
digolongkan sebagai "sudra" ketika
sudah menjadi raja, dengan
bantuan Brahmana, mengubah
sisilahnya menjadi Ksatrya
(menurut konsep warna memang
benar, tapi kemudian gelar itu
diteruskan juga kepada anak
keturunannya).
Di Bali juga demikian. Ada satu klan
yang kawitannya bergelar (dalam
arti adat Bali) Sang. Kemudian
keturunannya ada yang tetap
bergelar Sang, ada Ngakan, ada I
Dewa, Anak Agung, I Gusti, I
Wayan dstnya.
Raja-raja Bali jaman dahulu bisa
menaikkan (Wisuda) dan
menurunkan (Petita)gelar
seseorang atau keluarganya,
berdasarkan jasa atau kesalahan
yang dilakukan oleh yang
bersangkutan kepada raja.
Perobahan wangsa juga terjadi
karena satu keluarga "nyinebang
wangsa" (menyembunyikan
marganya). Istri saya dari
Klungkung, namanya Luh Ayu. Tapi
kalau lagi sembahyang di pura
kawitannya di Karangasem ia
dipanggil Gusti Ayu. Konon
leluhurnya di Karangasem yang
keturunan Arya, dijaman dahulu
kala transmigrasi ke Klungkung.
Tapi di Klungkung mereka tidak
memakai gelar aryanya. Entah
karena alasan apa?
Pada tahun 60an keluarga besar
istri saya ingin kembali memakai
gelar leluhurnya, kembali menjadi I
Gusti. Tapi ayah dari istri saya tidak
setuju. Yang penting bukan gelar
itu, tapi kualitas pribadi. Demikian
katanya. Padahal penyesuaian
gelar ini, sudah biasa terjadi di Bali.
Di Denpasar, Tabanan, Singaraja
sudah normal I Gusti jadi AA. Di
daerah saya ada I Dewa jadi AA.
Lalu yang AA menambah gelar Ide
sehingga menjadi Ide AA. Sekarang
ada juga Ide I Dewa. Keluarga saya
juga sudah banyak yang memakai
nama I Dewa. Karena konon
leluhurnya adalah I Dewa
Anggungan, yang karena
memberontak kepada raja di petita
wangsanya. Yang berasal dari
Dewa kembali ke Dewa. Begitu
mungkin alasannya.
Saya sendiri tidak tertarik untuk
yang begini-begini. Karena tidak
ada manfaat apa-apa.
Feodalisme dan rasa minder.
Karena latar belakang sejarahnya
memang benar bahwa wangsa ini
mengandung unsur feodalisme.
Unsur feodalisme inilah yang
hendak dihapuskan oleh bhisama
Catur Warna, berdasarkan sastra
agama. Maksudnya kira-kira agar
konsep wangsa itu sama dengan
konsep trah orang Jawa, marga
dari orang Batak atau Manado.
Di kalangan orang Batak, hampir
tidak ada orang yang mengganti
marganya. Misalnya orang dengan
marga Panjaitan tidak akan
mengganti marganya misalnya
menjadi Panggabean. Karena
Panjaitan dan Panggabean sama
dan sederajat. Merobah marga
tidak akan menaikkan derajat.
Bahkan bisa dianggap penghinaan
terhadap keluarga besar dan
leluhurnya.
Orang Batak mengangkat derajat
dirinya dan juga marganya dengan
berupaya keras untuk mencapai
tiga hal, yaitu harta, pangkat dan
keturunan.
Dalam kaitan ini di Bali ada satu
klan yang cukup menarik
perhatian, yaitu klan atau wangsa
Pande. Saya sangat jarang, hampir
tidak pernah mendengar warga
klan ini yang merobah namanya.
Mereka bangga sekali dengan
klannya. Sekarang banyak dari
mereka yang memakai Pande
sebagai nama depan, seperti Pande
Made Latra, Pande Putu Yuni, dll.
Menurut sejarahnya, kawitan
wangsa Pande dan Brahmana itu
kakak beradik.
Saya kira wangsa atau gotra yang
lain bisa meniru hal ini. Misalnya
gotra Pasek memakai nama Pasek
di depan namanya. Misalnya Pasek
Putu Setia. Pasek artinya sama
dengan Paku di Jawa, adalah gelar
Ksatrya dalem. Jika warga Pasek
memiliki kebanggaan terhadap
gotra atau wangsanya, maka
Dr.Made Titib tidak perlu memberi
nama Ida Ayu untuk anak-
anaknya. Nanti kalau anak ini
sukses dan punya nama, misalnya
jadi Miss World, yang diharumkan
justru wangsa Pak OKN, bukan
wangsa Pasek. (Saya dengar
Yustine Pasek, Miss World yang dari
Panama sudah diangkat sebagai
warga kehormatan Gotra Pasek?).
Dari sisi lain, merobah nama
dengan nama warga lain, terkesan
minder terhadap wangsa sendiri.
Dan supaya PD perlu didongkrak
dengan gelar gelur ini.
Demikian sekilas latar belakang
dari nama-nama wangsa atau
gelar ini. Mudah-mudahan ini
memberikan tambahan informasi
untuk membahas soal Perda itu.
Perda sebagai produk hukum
Pemda bersama DPRD memang
perlu diangkat lagi ke DPRD
sekarang supaya dikaji dan
diperdebatkan.

0 komentar: